Selasa, 25 Oktober 2016

Sebuah Tolok Ukur untuk Menghargai Orang Lain - Tepo Seliro

Tepo Seliro


Dalam hal menjalin hubungan antar sesama manusia sering sekali kita mendengar orang berkata "kita harus menghargai orang lain atau kita harus saling menghargai". Menghargai orang lain bukanlah sekedar sebuah slogan yang manis untuk didengarkan, tetapi lebih ke arah sebuah cara pandang, sikap dan perbuatan. Cara kita memandang orang lain adalah awal dari sikap dan perbuatan kita selanjutnya terhadap orang lain. Sebagai contoh cara memandang orang lain, misalnya pada saat kita bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang pada saat itu penampilannya terlihat kurang layak dan dalam hati kita berkata "kayaknya ga selevel deh sama saya". Contoh di atas adalah sebuah contoh cara memandang yang tidak baik. Berawal dari cara pandang yang kurang baik tersebut maka sikap dan perbuatan kita terhadap orang tersebut akan terpengaruh menjadi kurang baik juga. Dari sikap dan perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain inilah seseorang akan dinilai apakah dia adalah seorang pribadi yang dapat menghargai orang lain atau tidak.
Apakah tolok ukur dalam hal menghargai orang lain? Di dalam masyarakat Jawa ada sebuah falsafah  "Tepo Seliro" yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam hal bagaimana kita menghargai orang lain. Apakah tepo seliro tersebut? Tepo seliro adalah sebuah prinsip cara memandang orang lain yang didasarkan pada sebuah pertimbangan "seandainya saya menjadi dia". Menurut pemikiran saya (sekedar otak atik gathuk) tepo seliro berasal dari bahasa Jawa "ditepake neng seliro" yang artinya adalah terapkanlah pada diri sendiri. Jadi yang menjadi tolok ukur dalam menghargai orang lain sebenarnya adalah diri kita sendiri, apa yang kita ukurkan untuk diri sendiri kita ukurkan juga untuk orang lain.


Bagaimana kita menerapkan prinsip tepo seliro tersebut? Cara yang saya pahami mengenai penerapan prinsip hidup ini adalah: sebelum melakukan atau mengatakan sesuatu kepada orang lain hendaklah kita berpikir dan berusaha menempatkan diri kita sebagai orang lain yang berinteraksi dengan kita. Selanjutnya, coba kita rasakan seandainya kita diperlakukan seperti apa yang akan kita lakukan kepada orang lain tersebut, apakah kita merasa senang atau tidak? Sebagai contoh adalah: setiap orang pasti tidak akan merasa senang apabila dipukul, oleh sebab itu janganlah memukul orang lain. Kita tidak senang apabila di bohongi, maka janganlah membohongi orang lain. Atau dapat juga diungkapan jika kita tidak mau dicubit maka janganlah mencubit.


Ajaran dan prinsip tepo seliro ini selalu diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan sebuah tujuan dan harapan terciptanya kerukunan dan keharmonisan antar pribadi yang ada di dalam pergaulan masyarakat Jawa. Didikan ini ditanamkan secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari sehingga secara otomatis akan lebih mudah dimengerti dan dicontoh oleh generasi berikutnya. Dengan sistem pengajaran seperti di atas diharapkan setiap masyarakat Jawa mempunyai cara pandang yang sama dalam hal berinteraksi dengan orang lain.


Prinsip tepo seliro seperti yang tertulis di atas  mungkin terlihat sederhana dan mudah, tetapi pada kenyataannya cukup sulit untuk benar-benar menerapkan secara konsisten. Kesulitan dalam menerapkannya lebih dikarenakan sifat dasar manusia adalah egois/mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Dengan perbedaan yang sangat bertentangan tersebut itulah mengapa prinsip tepo seliro harus selalu dilatih setiap saat agar menjadi sebuah sikap dan kebiasan dalam setiap tindakan yang dilakukan. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah kita harus mengalahkan kepentingan diri kita untuk dapat menghargai orang lain dan salah satu caranya adalah menerapkan prinsip tepo seliro pada interaksi sehari-hari. Seperti halnya hukum aksi - reaksi atau siapa menabur akan menuai maka dalam hal menghargai orang lain pun berlaku hukum tersebut. Jadi hargailah orang lain dan orang lain pun akan menghargai kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar